Kehidupan Setelah “Breakup”
Aku marah sebelumnya, terhadap bagaimana alam semesta menarikku lebih dekat dengannya, tetapi tidak mengizinkanku memilikinya. Itu membiarkannya menetap lama di hatiku hingga jiwanya melebur dengan jiwaku — lalu aku dan dia menjadi satu. Membuatku merasa bahwa aku dan dia tak terpisahkan hingga itu memutuskan bahwa saatnya “ini” selesai.
Terbiasa saling tanpa pernah berpaling, walau akhirnya harus menjalani hidup masing-masing. Lucunya, seberapa jauh aku berlari darinya, dia selalu ada di antara jalan-jalan yang aku lewati. Pandanganku seolah terprojeksi hanya kepada dia. Hingga akhirnya aku menyerah dan berpasrah, mengetahui bahwa entah bagaimana, aku dan dia akan selalu berotasi digaris yang sama — “soulmate”, katanya.
Kebersamaan yang berbatas, cinta yang tak lagi bisa berbalas, bagaimana cara melihatnya tanpa melihat masa depan bersamanya? Bagaimana cara berada di dekatnya tanpa merasa ingin memilikinya? Bagaimana cara berbicara dengannya tanpa melihat matanya yang seolah ingin menarikku kembali kepadanya? Alam semesta tak memberiku jeda, seolah aku dipaksa untuk hilangkan rasa di saat itu tetap mendekapku bersamanya — “tak apa jika cintamu kepadanya masih sama besarnya”, katanya.
Hari-hari berdamai dengan diri sendiri. Ditemani memori dan apapun yang dia tinggalkan di hati. Hingga bertemu dengannya tak lagi memercikkan api. Bukan karena rasa dan cinta kepadanya yang mati, hanya saja aku sudah cukup pintar menaruh segalanya di palung hati.
Dia hanya tak perlu lagi merasakan yang tak perlu dia rasakan dariku, apapun itu. Hingga akhirnya aku bisa berkata kepadanya:
Jika aku masih berucap aku mencintaimu, ketahuilah bahwa aku tidak lagi berharap kamu kembali mengatakannya kepadaku, tetapi hanya lebih ingin sekedar kamu tahu itu.
Dan aku rasa, inilah ujung dari segala riuh yang ada di kepala. Ringan rasanya hati mencintainya seperti ini. Tanpa ikatan, tapi entah bagaimana kuatnya tetap sama besarnya — aku tak lagi ingin berlari darinya.